REFLEKSI PENUTUPAN PEKAN KEBUDAYAAN NASIONAL (Budaya Indonesia Ramai di Luar Negeri, Sepi di Negeri Sendiri)
Oleh: Yudi Aditiawan
Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) taun ini baru saja secara resmi ditutup pada pukul 19:00 WIB atau lebih tepatnya pada hari Selasa 1 Desember 2020. Konten-konten didalamnya sangat menarik, ada pameran, pagelaran, kompetisi, konferensi, lokakarya, dan pasar budaya. Namun sayang, PKN tahun ini diselenggarakan ditengah kondisi negeri yang masih dilanda pandemi covid-19, sehingga nuansa keramaiannya kurang begitu gereget. Meski begitu, saya sangat mengapresiasi penyelenggara dan peserta yang masih bersemangat untuk menggelar kegiatan bernuansa kebudayaan Indonesia.
Terlepas dari plus-minus PKN yang diselenggarakan tahun ini, saya ingin mengajak para pembaca untuk berselancar ke PKN tahun 2019 lalu. Genap satu tahun ketika pada tanggal 7-13 Oktober 2019 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2019 di Istora Senayan. Acara tersebut menampilkan beragam kebudayaan yang ada di Indonesia, dari mulai handcraft sampai kuliner. Dan pada 16 Oktober 2019, Ditjen Kebudayaan Kemdikbud RI resmi merilis infografis seputar PKN 2019 melalui akun instagram resminya @budayasaya. Di dalam infografis tersebut, diinformasikan bahwasannya total pengunjung acara PKN hanya mampu menyedot sebanyak 203.245 pengunjung. Padahal total penduduk Indonesia saat ini berjumlah 265 juta menurut data yang dihimpun oleh BPS.
Festival Indonesia, Moskow, Rusia
Berbeda dengan PKN, acara Festival Indonesia yang rutin diadakan di Moskow, Rusia, oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), untuk tahun ini batal digelar, tentu saja pertimbangannya disebabkan masih merebaknya covid-19. Festival Indonesia tersebut telah menjadi agenda tahunan KBRI Moskow yang biasanya diselenggarakan dipertengahan tahun antara bulan Juli-Agustus.
Jika tahun ini Festival Indonesia batal dilaksanakan, maka yang diselenggarakan pada tanggal 1-4 Agustus 2019 yang lalu, saya rasa sangat mengagumkan. Dengan mengusung tema “Visit Wonderful Indonesia: Enjoy Your Tropical Paradise”, berbagai karya budaya Indonesia dipamerkan, dari produk diantaranya barang kerajinan, kopi, batik, miniatur angklung, wayang golek, aksesoris, kuliner nusantara, dan buah-buahan sampai kesenian lainnya seperti silat dan tarian-tarian nusantara. Acara tersebut mampu menyedot masyarakat Rusia sebanyak 117.669 pengunjung, data pengunjung tersebut langsung diinformasikan oleh Duta Besar RI untuk Federasi Rusia merangkap Republik Belarus, M. Wahid Supriyadi di dalam akun instagram resmi miliknya @wahid.supriyadi. Sementara itu seperti dilansir dari portal berita Russia Beyound, menyebutkan total penduduk Rusia saat ini berjumlah 146 juta jiwa.
Tingkat Popularitas dan Apresiasi
Dari sisi popularitas, tentu saja masyarakat Indonesia lebih mengenal kebudayaannya yang notabene penduduk asli dan pelaku langsung dari budaya itu sendiri daripada rakyat Rusia yang secara geografis saja sangat jauh letaknya dari negara Indonesia.
Melihat jumlah antusiasme pengunjung dari kedua acara tersebut, ada perbedaan yang cukup signifikan, bahkan dapat disimpulkan bahwasannya budaya Indonesia lebih besar diapresiasi oleh masyarakat Rusia daripada oleh rakyatnya sendiri. Bagaimana tidak? Dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 265 juta jiwa itu, masyarakat yang datang berkunjung ke PKN 2019 tahun lalu hanya 203.245 orang atau 0,077% saja, sementara di Rusia dari total penduduk 146 juta jiwa, masyarakat yang hadir ke Festival Indonesia 2019 adalah 117.669 orang atau 0.081%, perbedaan yang cukup menohok jika dibandingkan dengan tingkat popularitas mengenai kebudayaan itu sendiri.
“di Indonesia, tingkat apresiasi masyarakat kepada budayanya sendiri sudah sangat mengkhawatirkan, itu menjadi tanggungjawab kita semua sebagai bangsa Indonesia. Malu rasanya jika melihat event yang menampilkan budaya Indonesia di luar negeri banyak yang mengapresiasi, tapi di negeri sendiri justru malah sepi peminat,” ujar kang Ajang Taryana (pejuang seni) saat ditemui di Sekretariat Daya Mahasiswa Sunda (Damas) jl. Lengkong Besar No.67, Bandung, Jawa Barat.
Gaya Hidup Masyarakat Hari Ini
Tidak bisa dipungkiri, di era milenial saat ini, budaya seringkali hanya ditampilkan berupa simbol-simbol belaka. Mengambil contoh di Jawa Barat misalnya, berapa banyak warganya yang senang memakai Iket Sunda, Pangsi (salah satu pakaian adat Sunda), dsb., namun berapa banyak warganya yang paham tentang makna maupun falsafah yang terkandung dari penggunaan produk tradisional tersebut?
Jika melihat lebih luas lagi, kecenderungan masyarakat untuk pergi ke kafe-kafe maupun ke kedai-kedai bukan semata-mata untuk menikmati hidangan makanan dan minuman yang disuguhkan oleh pengelola kafe/kedai tersebut, tetapi banyak pula yang sekadar ingin memoto makanan/minuman, atau ber-selfie hanya untuk diunggah di akun-akun media sosialnya masing-masing. Oleh karena itu, banyak pengelola kafe maupun kedai yang lebih fokus mendesain tempat usahanya agar istilahnya “Instagramable” daripada meningkatkan kualitas rasa dari produk makanan atau minumannya.
Begitupun dengan kelompok-kelompok penyelenggara event yang berkecimpung dalam hal kebudayaan, lantaran melihat pangsa pasar hari ini kebanyakan seperti yang diutarakan di atas, maka tak sedikit penyelenggara yang terjebak untuk membalut acaranya menjadi Instagramable tadi, tak seluruhnya keliru, akan tetapi jika tidak atau kurang diimbangi dengan mempropagandakan nilai-nilai budayanya, maka efek jangka panjangnya justru dapat menjauhkan masyarakat dari pemahaman tentang kebudayaan yang telah terbangun.
“di luar negeri, para pengunjung yang hadir bukan semata-mata ingin menikmati keindahan budaya Indonesia saja, lebih jauh dari itu, mereka justru ingin mengenal nilai-nilai filosofis tentang budaya Indonesia. Akan tetapi di Indonesia, kebanyakan hari ini yang hadir hanya untuk bersenang-senang saja, dan foto-foto, untuk menambah koleksi unggahan di media sosial. Dari kualitas pengunjung pun berbeda antara pribumi dengan di luar sana, seperti contoh di Rusia itu.” pungkas kang Ajang sambil menyeruput kopi yang terseduh sebelum larut bersama dingin.
Strategi Cantik DUBES RI Untuk Menarik Pengunjung
Pada Festival Indonesia 2019 itu, Wahid Supriyadi memanfaatkannya sebagai ajang diplomasi antar kedua negara. Korelasi antara budaya dan diplomasi sebenarnya sudah banyak yang membahasannya, meskipun tak terlalu banyak praktisi Hubungan Internasional (HI) yang menganalisisnya, di karenakan menganggap diplomasi hanya pada tataran ekonomi dan politik saja. Padahal diplomasi kebudayaan merupakan sebuah usaha untuk menjalankan dan/atau mewujudkan tujuan sebuah negara yang dibalut melalui dimensi kebudayaan.
Wahid Supriyadi menangkap cerdas tentang potensi dari nilai-nilai budaya Indonesia tersebut. Kebudayaan dianggap efektif sebagai alat berdiplomasi. Faktor kebudayaan dalam diplomasi tak melulu hanya persoalan barang kerajinan, musik, kuliner, dan pakaian, namun segala hal yang merupakan akal budi manusia setempat dan merupakan ciri khas sebuah tempat dapat dikatakan budaya.
Rusia sendiri saat ini tengah mendalami tentang nilai-nilai budaya timur yang terkenal dengan keramahannya itu dianggapnya cocok untuk diterapkan di negara tersebut. Sehingga masyarakat Rusia berbondong-bondong datang berkunjung dengan membawa anak-anak mereka untuk mempelajari dan mendalami tentang kebudayaan Indonesia yang kaya akan keragaman dan keluhuran akal budinya.
Peran Penting Para Tokoh
Adalah menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah, budayawan, akademisi, dan seluruh lapisan rakyat Indonesia itu sendiri untuk dapat saling mendukung serta mengingatkan akan pentingnya menjaga dan melestarikan budaya yang ada di negeri ini. Karena budaya merupakan aset penting bagi Negara ini, selain itu budaya nusantara adalah ciri identitas bangsa untuk dapat dikenal oleh dunia.
Menanamkan pemahaman tentang nilai-nilai budaya merupakan hal yang sangat penting, apalagi jika ditanamkan sedini mungkin, agar ketika tumbuh dewasa, ia akan dapat mencintai budaya negerinya sendiri. Tentu ini merupakan pekerjaan rumah yang berat untuk mengenalkan budaya Indonesia kepada anak usia dini. Namun, jika melihat jauh ke depan, tentu anak-anak tersebut akan menjadi aset “emas” untuk dapat mempertahankan bangsa dan negara dari derasnya arus globalisasi.
Sampai saat ini, proses edukasi untuk menanamkan nilai-nilai budaya masih terlalu minim, bisa dibuktikan dengan masih minimnya para petinggi negara yang berpidato dengan memakai bahasa daerahnya, atau para orang tua yang cenderung lebih memilih mengasuh anak-anaknya dengan kebarat-baratan, dampaknya banyak anak-anak yang tidak mengetahui tentang identitas dirinya.
Barangkali itulah yang mendasari mengapa semakin hari kebudayaan nusantara semakin tidak begitu diminati oleh masyarakatnya, karena faktor minimnya pemahaman akan nilai-nilai yang terkandung dari kebudayaan itu sendiri. Tentu saja, banyak faktor yang menyertainya, bisa karena menurunnya tingkat literasi masyarakat, atau kurangnya sosialisasi dan edukasi.
Refleksi ini semoga menjadi catatan kita semua. Tanpa budaya, Indonesia hanya akan dikenal di atas peta saja, tak lebih.
No Comment