MONDOK DI PUSAT STUDI SUNDA
Oleh. Atep Kurnia*
Salah satu kenangan paling berkesan bagi saya adalah pemberian kopian buku Kalangwan: Sastra Jawa Kuno, Selayang Pandang (1983) karya P.J. Zoetmulder. Fotokopian ini diberikan oleh Téh Titi Surti Nastiti, salah seorang putri Kang Ajip Rosidi. Kata Téh Titi, kopian tersebut berasal dari Kang Ajip sendiri untuk saya. Ini terjadi ketika saya mulai menekuni pelbagai segi literasi Sunda sejak paruh kedua tahun 2000-an dan mulai mengumumkan tulisan yang “serius” pada 2011. Termasuk khazanah kesastraan Sunda kuna yang berkaitan erat dengan bahasa dan sastra Jawa kuna seperti yang dibahas oleh Romo Zoetmulder.
Barangkali ini salah satu bentuk perhatian Kang Ajip setelah saya menulis makalah “Lapat di Tata Pustaka: Identifikasi Tradisi Literasi dina Naskah Sunda Kuna” yang dimuat dalam Sundalana 11 (2011) dan barangkali juga tulisan “Sinurat ring Merega: Tinjauan atas Kolofon Naskah Sunda Kuna” dalam Jumantara Vol 3 No 1 (2012).
Memang sejak 2009 hingga 2013, saya turut aktif dalam organisasi yang diinisiasi oleh Kang Ajip dan kawan-kawan, Pusat Studi Sunda. Lembaga yang biasa disingkat PSS ini secara resmi berdiri pada 24 Agustus 2002. Para pendirinya Ajip Rosidi, Didi Turmudzi, A. Chaedar Alwasilah, Dadan R. Nurdin, Dadang Kahmad, Dodong Djiwapradja, Embas Suherman, Edi S. Ekadjati dan Nano S. Pendirian PSS merupakan salah satu rekomendasi Konferensi Internasional Budaya Sunda ke-1 (KIBS 1) yang diselenggarakan di Bandung pada 22-25 Agustus 2001.
Hingga 2013 saya dipercaya menjadi wakil sekretaris PSS yang saat itu masih berkantor di Jalan Taman Kliningan II No. 5, satu kantor dengan majalah Sunda Cupumanik. Mula-mula PSS beralamat di Jalan Karawitan No 46 (2002-2006), kemudian pindah ke Jl. Taman Kliningan II No. 5 (2006-2010), dan kini berkantor di Jl. Garut No. 2. Semuanya berada di Kota Bandung.
Selain sebagai kantor, gedung sewaan itu di Jalan Taman Kliningan II No. 5 difungsikan sebagai perpustakaan PSS yang nantinya menjadi embrio bagi Perpustakaan Ajip Rosidi. Koleksi awal perpustakaan PSS berasal dari sumbangan keluarga Djaka Suryawan, Amir Sutaarga, Suhamir, Ayatrohaedi, Edi S. Ekadjati, dan Mh. Rustandi Kartakusuma. Koleksi perpustakaan PSS juga berasal dari sumbangan buku, antara lain dari Ajip Rosidi, Irfan Anshory, Rachmat Taufiq Hidayat, Her Suganda, dan HD. Bastaman. Saat itu, perpustakaan PSS banyak dikunjungi dan dimanfaatkan mahasiswa S1, S2 dan S3 juga para peneliti, penulis, dan masyarakat umum. Mereka datang untuk membaca buku, naskah, mikrofilm untuk tugas kuliah dan penelitian.
Minat saya terhadap kajian literasi Sunda, terutama pada sastra kunanya, kemungkinan besar terbentuk saat berkutat di perpustakaan PSS. Bahkan saat itu, ruangan perpustakaan tersebut nyaris menjadi rumah tinggal saya yang kedua. Karena rumah saya tinggal jauh hampir di batas timur Kabupaten Bandung, sementara tiap hari beraktivitas di Kota Bandung, sehingga akhirnya setiap malam menginap di sana. Kalau tidak ada kuliah di Cibiru, biasanya saya nongkrong jadi pustakawan di sana.
Koleksi perpustakaan PSS yang menjadi favorit saya berasal dari pelbagai pustaka yang disumbangkan keluarga Edi S. Ekadjati dan Ayatrohaedi. Menurut catatan hibah pada 30 Juni 2007, jumlah koleksi yang disumbangkan ke PSS sebanyak 3799 buah dari keluarga Pak Edi dan 1469 buah dari keluarga Mang Ayat. Baik Edi S. Ekadjati dan Ayatrohaedi menekuni bidang kajian bahasa dan sastra Sunda kuna, terutama filologi. Tidak mengherankan bila pelbagai pustaka terkait kajian filologi naskah Sunda, termasuk naskah Jawa dan Melayu, sangat banyak di perpustakaan PSS.
Alhasil, dari pelbagai sumbangan tersebut, ruang tengah rumah di Jalan Taman Kliningan II No. 5 itu hampir penuh dikepung oleh buku. Dalam rak-rak kayu yang ditempatkan mengelilingi ruangan, buku-buku tersebut disusun berdasarkan subjeknya. Sementara meja panjang dipasang di tengah ruangan disertai dengan kursi-kursi panjang yang mengelilinginya, untuk membaca koleksi buku. Di atas kursi panjang itulah seringkali, saya sampai tertidur selama membaca dan membuat corat-coret konsep tulisan.
Selain dipercaya sebagai wakil sekretaris untuk membantu Bu Ruhaliah, saya juga dipercaya menjadi sekretaris redaksi publikasi ilmiah yang diterbitkan oleh PSS, Seri Sundalana. Seri ini mulai terbit pada Oktober 2003, dengan Sundalana 1: Tulak Bala: Sistim Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda. Kemudian disusul Sundalana 2: Fatimah in West Java: Moral Admonitions to Sundanese Gentlewomen (Maret 2004); Sundalana 3: Bupati di Priangan (Oktober 2004); Sundalana 4: Islam dalam Kesenian Sunda (2005); Sundalana 5: Mencari Gerbang Pakuan (2006); Sundalana 6: Menyelamatkan Alam Sunda (2007); Sundalana 7: Kujang, Bedog, dan Topeng (2008).
Saya mulai terlibat dalam pengelolaan Sundalana mulai seri ke-8: Pulung Karaton Pajajaran yang terbit pada Desember 2009. Tugas saya sebagai sekretaris redaksi antara lain membantu kerja Redaktur Pelaksana Kang Hawe Setiawan untuk mencari, mengumpulkan, menulis, memindai bahan-bahan tulisan untuk penerbitan untuk Sundalana. Saya juga pernah ditugaskan untuk memberi pengantar bagi penerbitan Sundalana 11: Aspek Visual Budaya Sunda (Mei 2012). Bahkan sebelum itu, atas kepercayaan dan dorongan Kang Hawe, saya mengisi Seri Sundalana 11: Perspektif Kebudayaan Sunda (Desember 2011) dengan tulisan “Lapat di Tata Pustaka: Identifikasi Tradisi Literasi dina Naskah Sunda Kuna”.
Dalam kerangka mencari dan mengumpulkan bahan terbitan Sundalana, saya sering menjalin komunikasi dengan penulis dan peneliti muda yang menggeluti kajian filologi Sunda, terutama Sunda kuna. Karena memang salah satu ciri khas penerbitan Sundalana adalah sajian transkripsi dan kajian naskah Sunda kuna. Hal ini, misalnya, sudah terbukti dari edisi perdana yang memuat ulikan mengenai naskah Kropak 406 koleksi Perpustakaan Nasional RI dan edisi kedua yang memuat bahasan ihwal naskah Sanghyang Raga Dewata koleksi Museum Sri Baduga.
Di antara penulis dan peneliti muda yang saya kontak adalah Aditia Gunawan dan Ilham Nurwansah. Pada Sundalana 8: Pulung Karaton Pajajaran (Desember 2009), Aditia Gunawan bersama Agung Kriswanto menulis naskah Kala Purbaka, dengan judul “Kala Purbaka: Kisah Batara Kala dalam Teks Sunda Kuna”. Untuk Sundalana 9: Perubahan Pandangan Aristokrat Sunda (November 2010), Munawar Holil bersama Aditia Gunawan menulis “Membuka Peti Naskah Sunda Kuna di Perpustakaan Nasional RI: Upaya Rekatalogisasi” dan Aditia Gunawan sendiri mengkaji naskah Sunda kuna dengan tajuk “Warugan Lemah: Pola Pemukiman Sunda Kuna”.
Sementara Ilham Nurwansah menulis “Naskah Lontar Sunda Kuna Sanghyang Siksa Kandang Karesian (624)” dalam Sundalana 12: Memelihara Sunda (2013). Seri ini sekaligus juga menjadi kali akhir saya membantu PSS serta Sundalana, karena beralih kerja ke tempat lain. Dalam pengantar yang ditulis oleh Kang Hawe untuk edisi tersebut, antara lain, terbaca sebagai berikut: “Redaksi Sundalana menghaturkan terima kasih kepada Sdr. Atep Kurnia atas bantuannya dalam proses menyiapkan edisi ini, khususnya dalam upaya menjaring hasil penelitian penulis muda Ilham Nurwansah mengenai naskah Siksakandang Karesian sehingga dapat dimuat dalam edisi ini”.
Meski tidak lagi berada di lingkungan Kang Ajip, tetapi baik secara langsung maupun tidak, Kang Ajip telah memberi jalan lempang bagi saya untuk mendapatkan peluang membaca banyak ihwal khazanah kesundaan, termasuk naskah Sunda kuna, yang hingga sekarang masih saya pelajari. Tentu dengan jalan, dulu mondok di kantor PSS. Dan kopian buku Kalangwan karya Romo Zoet, pemberian Kang Ajip melalui Téh Titi, masih saya simpan dan tetap dijadikan rujukan saat saya menulis, sebagai bahan kaji banding. Terima kasih banyak, Kang Ajip.***
Cikancung, 29-30 Juli 2020
*Peminat literasi dan budaya Sunda.
Keterangan foto:
Foto 01. Kang Ajip bersama Ketua PSS E. Saefullah Wirapradja pada salah satu rapat PSS di Jalan Garut No. 2, Bandung. Sumber: Atep Kurnia
Foto 02. Bersama dua pustakawan dari Unpad, Kang Ajip membicarakan tata letak Perpustakaan PSS yang kelak bernama Perpustakaan Ajip Rosidi. Sumber: Atep Kurnia
No Comment