IMAJINASI MEMUNCULKAN PRAKTIK BAIK LITERASI DI MASYARAKAT
Nalar hanya akan membawa anda dari A menuju B, namun imajinasi mampu membawa anda dari A ke manapun. (Albert Einstein)
Dayu Rifanto dan Praktik Baik Literasi di Kota Sorong
Kota Sorong memiliki 250.000 penduduk (sensus 2018), 778.288 orang yang naik pesawat ke Sorong (data BPS 2019). Di Kota Sorong terdapat 12 Perguruan Tinggi. Kota Sorong seperti yang dikatakan oleh Dayu Rifanto adalah salah satu kota termaju di Papua Barat.
Dayu yang lahir di Nabire, serta besar di Kota Sorong ini membuat “Buku Untuk Papua”. Buku Untuk Papua awalnya lahir pada tahun 2012 ketika Dayu sedang kuliah di Yogyakarta. Di sana ia bersama beberapa kawan yang berasal dari Papua berproses.
Pada tahun 2018, Dayu yang memiliki keinginan untuk memajukan literasi di tanah Papua, mulai bergerak, memetakan situasi masyarakat serta melihat ekosistem yang berada di Sorong. Kemudian Dayu melihat realitas yang terjadi di masyarakat seperti Perpustakaan Daerah Kota Sorong yang dapat dikatakan belum maksimal secara sistem kerjanya, lalu komunitas penggerak dan komunitas literasi yang masih bergerak sendiri-sendiri (belum ada sebuah forum bersama). Kemudian Dayu memetakan buku. Pemetaan mengenai buku yang dimaksud Dayu lebih pada apakah sudah ada toko buku, tempat meminjam buku, perpustakaan seperti sekolah dan kampus terbuka untuk umum. Kemudian pemetaan penulis serta penerbitan.
Gagasan Imajinatif menjadi aktivitas literasi, penting untuk diangkat. Karena hal ini akan berkaitan dengan kolaborasi. Tanpa kolaborasi maka pergerakan yang terjadi di Indonesia Timur, khususnya Kota Sorong tidak akan terjadi. Kolaborasi di Kota Sorong seperti yang dikatakan oleh Dayu dimulai dari Forum Literasi Sorong Raya.
Energi yang besar dari Forum Literasi Sorong Raya, mendorong forum ini untuk mengadakan diskusi (pertemuan) sebulan sekali. Di dalamnya terdapat banyak praktik baik yang dilakukan oleh forum ini seperti Galang Donasi (Buku dan Dana), Pelatihan dan Pendampingan, Kolaborasi Saling Bantu, hingga penerbitan buku.
Sorong telah memberikan satu sumbangsih untuk kemajuan literasi di tanah Papua lewat gerakan serta praktik baiknya. Kunci dari semua ini adalah kolaborasi. Oleh karena itu, kolaborasi penting dalam pergerakan literasi, seperti yang selalu diulang-ulang oleh Dayu dalam paparannya.
Wien Muldian: Revitalisasi Literasi Lewat Imajinasi
“Indonesia kaya akan gagasan, Indonesia memiliki 1.128 etnik, punya 726 bahasa, 17.504 pulau, memiliki jarak 108.000 yang terbentang dari barat ke timur. Indonesia ini memiliki keragaman yang jarang dimiliki oleh negara lain atau bangsa-bangsa lain di dunia.” Tutur Wien Muldian ketika membuka paparan Serambi Literasi.
Setelah memaparkan deskripsi mengenai keberagaman serta kekayaan yang ada di Indonesia, Wien yang pada kesempatan ini menggunakan batik berwarna hitam pitih memberikan satu pandangan mengenai potensi besar yang dimiliki oleh Indonesia. “Keberagaman Indonesia ini bagaimana menjadi potensi besar untuk gerakan literasi di Indonesia, serta akan banyak gagasan-gagasan yang dapat dimunculkan.”
Normal lama membuat aktivitas literasi lewat program-programnya di Taman Bacaan Masyarakat, Rumah Baca, serta lain sebagainya berjalan dengan baik. Aktivitas seperti peminjaman buku, praktik-praktik baik, serta sosialisasi peningkatan minat baca di masyarakat berjalan dengan normal dan lancar. Hal ini berjalan tanpa berpikir akan ada pandemi seperti sekarang ini.
Lantas apakah ketika pandemi aktivitas literasi terhenti? Atau masih menerapkan aktivitas literasi seperti di normal lama? Wien Muldian mengajak semua aktivis literasi untuk kembali merevitalisisasi gerakan literasi di masa pandemi. Supaya pergerakan literasi tidak berhenti.
“Di masa pandemi ini kita lebih longgar dalam memaknai literasi apa sih yang kita lakukan? Seperti apa sih (literasi) di sekitar kita? Serta teknologi ini telah membuat kita menjadi apa?”
Pandemi ini membuat perilaku di masyarakat berubah. Perubahan yang terjadi di masyarakat ini tentu harus disambut oleh aktivis literasi untuk dapat mendampingi kemudian menjadikannya sebuah penelitian, lalu diturunkan menjadi program (praktik baik literasi). Program ini secara tidak langsung lahir dari imajinasi masyarakat, dapat dikatakan sebagai tatanan baru (normal baru). Program yang dapat berkolaborasi dengan teknologi.
Serambi Literasi bagian terakhir ( sesi 10) yang mengangkat tema “Memahami Dunia Pascapandemi: Gagasan-Gagasan Literasi dan Imajinasi Masyarakat” menjadi sebuah pemikiran penting untuk direnungkan oleh para pegiat literasi supaya dapat terus bergiat meski pandemi.
Pemikiran ini juga selaras seperti apa yang digadang-gadang oleh para ahli atau pakar pendidikan mengenai pendidikan sepanjang hayat. Juga tema besar yang diangkat pada Festival Literasi Indonesia 2020, yaitu “Pembelajaran Literasi di Masa Pandemi Covid-19, Momentum Perubahan Paradigma Pendidikan”.
With its confidence in man’s capacity to perfect himself through education, the Muslim world was among the first to recommend the idea of lifelong education, exhorting Muslim to educate themselves from cradle to the grave. (Faure, 1972) . [HMK]
No Comment