Disinformasi dalam Kelisanan Sunda
Oleh: Atep Kurnia*
Dalam khazanah kelisanan Sunda banyak ungkapan yang menyatakan peringatan dini terhadap disinformasi serta cara menyikapinya. Khazanah tradisi lisan tersebut antara lain mewujud pada ungkapan dan peribahasa Sunda (babasan-paribasa).
Babasan adalah ungkapan yang menggambarkan keadaan, tingkah laku, serta sifat-sifat manusia, yang umumnya berupa kata majemuk, frasa, atau klausa yang susunan serta kata-katanya sudah tetap. Sementara paribasa adalah adalah perumpamaan yang melambangkan tingkah laku manusia, berbentuk kalimat yang susunan serta kata-katanya sudah tetap.
Babasan dan paribasa yang berkaitan dengan peringatan dini yang berkaitan dengan disinformasi antara lain: béja gedé di jalan (délan); harus omong batan goong; nyieun catur, taya bukur; nyieun piandel; dan selenting bawaning angin, kolébat bawaning béja. Babasan–paribasa tersebut semuanya berkaitan dengan informasi yang belum jelas kebenarannya, kabar sensasional yang cepat tersebar, serta mengarang-ngarang cerita yang tidak jelas arah tujuannya.
Di antara informasi tersebut banyak di antaranya yang menjadi, “kembang carita; Jadi sabiwir hiji; jadi sendén kalémékan; dan matak ibur salelembur, matak éar sajajagat. Semuanya berarti menjadi bahan pembicaraan orang banyak. Bagi yang menanggapinya sambil lalu maka yang berlaku adalah: uncal kaauban surak; atah sasar; kurang jeujeuhan; dan teu boga pikir rangkepan. Semuanya merujuk kepada sikap yang tidak punya rasa curiga, kurang pertimbangan, dan cepat tanggap saat menghadapi berita yang belum jelas kebenarannya.
Namun, bagaimana seharusnya menanggapi disinformasi tersebut? Menurut babasan-paribasa adalah: kudu boga pikir kadua leutik; landung kandungan laér aisan; leuleus jeujeur liat tali; Boga pikir rangkepan; dibeuweung diutahkeun; dan nungtik lari mapay tapak. Artinya saat menerima kabar yang belum tentu kebenarannya harus memiliki rasa curiga, besar pertimbangan, dan berusaha mencari keterangannya terlebih dahulu.
Pada praktiknya, kita bisa melihat bagaimana tradisi lisan menghadapi disinformasi diberlakukan di masyarakat? Sebagai jawabannya, yang paling kentara dan masih berlaku hingga kini adalah di tengah-tengah masyarakat Kanekes atau Baduy, di Banten Selatan.
Di sana masih berlaku pikukuh. Menurut Judistira K. Garna (Tangtu Telu Jaro Tujuh Kajian Struktural Masyarakat Baduy di Banten Selatan, Jawa Barat, Indonesia, 1988), pikukuh berarti ucapan leluhur yang dituturkan secara turun-temurun untuk ditaati. Bila pikukuh dilanggar, maka berlaku hukuman nyapuan, yaitu disisihkan dari lingkungan hidupnya atau diturunkan status kewargaannya atau ada juga yang atas permintaan sendiri karena merasa tidak kuat lagi hidup mengikuti pikukuh (Saleh Danasasmita & Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes, 1986).
Pikukuh Baduy berbunyi, “Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak, larangan teu meunang dirempak, buyut teu meunang dirobah/lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, nu lain kudu dilainkeun, nu ulah kudu diulahkeun, nu enya kudu dienyakeun/mipit kudu amit, ngala kudu menta, ngeduk cikur kudu mihatur, nyokél jahé kudu micarék, ngagedag kudu béwara/nyaur kudu diukur, nyabda kudu diungang/ulah ngomong sagéto-géto, ulah lémék sadaék-daék, ulah maling papanjingan, ulah jinah papacangan/kudu ngadék sacékna, nilas saplasna (Garna, 1988).
Dengan ungkapan di atas, masyarakat Baduy mengikat diri mereka dengan kelisanan. Mereka senantiasa harus jujur saat berbicara (nu lain kudu dilainkeun, nu ulah kudu diulahkeun, nu enya kudu dienyakeun). Mereka pun mengajarkan agar saat berbicara harus mempertimbangkan terlebih dahulu akibat yang akan ditimbulkannya (nyaur kudu diukur, nyabda kudu diungang), sehingga tidak berbicara sekehendak hati (ulah ngomong sagéto-géto, ulah lémék sadaék-daék).
Dengan kata lain, babasan–paribasa dan pikukuh merupakan bukti kearifan karuhun Sunda manakala memahami dan memaknai ruang dan waktu yang mereka hidupi. Memang, bila kita pelajari lebih lanjut, sebenarnya tujuan akhir atau idealitas yang hendak disasar baik oleh babasan-paribasa dan pikukuh adalah apa yang disebut sebagai sikap siger tengah atau sineger tengah, yaitu bertindak bijaksana, adil, dan obyektif. Hal ini sesuai dengan penelitian Suwarsih Warnaen, dkk (Pandangan Hidup Orang Sunda seperti tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda, 1987) mengenai pandangan hidup orang Sunda.
Para peneliti antara lain sampai pada kesimpulan sebagai berikut. Pertama, “Kecenderungan orang Sunda dalam mencapai tujuan hidupnya selalu diimbangi dengan ukuran tertentu.” Kedua, “sineger tengah … secara harfiah berarti ‘dibelah tengah’ dan dapat ditafsirkan sebagai perilaku atau tindakan yang terkontrol agar tetap wajar dan seimbang. Kewajaran ini tentu tergantung pula pada perorangan.” Ketiga, “terdapat kesan kuat bahwa orang Sunda, sadar atau tidak sadar, menganut pandangan hidup yang sineger tengah”.
Dengan demikian, dalam menghadapi disinformasi, saya pikir babasan-paribasa dan pikukuh serta khazanah kelisanan Sunda secara umum berfungsi sebagai etika sekaligus hukum yang mengatur keselarasan hidup secara bersama-sama. Dengan catatan, khazanah kelisanan tersebut hanya akan efektif berlaku bila masyarakatnya belum terkena pengaruh tulisan sama sekali atau dengan kata lain, masih sangat menggantungkan diri pada kelisanan sebagai modus komunikasinya.
*Penulis lepas, peneliti literasi, pengurus FTBM Jawa Barat
No Comment