DARI BATU AKIK HINGGA LAPAK BUKU
oleh: Asri Juli
Mulailah menabur benih ketulusan, menanam kebaikan dan memanen kebahagiaan karena bahagia bukan kala merajut impian tapi kala menjalani kehidupan
“Kalau ditanya impian Apit apa, Apit tidak punya impian apa-apa. Bisa melihat generasi kompak saja rasanya Apit sudah senang dan itulah harapan Apit,” katanya menggebu. Kallimat itu terlontar dalam kegiatan diskusi virtual para pegiat literasi Jawa Barat, Jumat 20 November 2020 yang dimulai pukul 20.00 WIB. Kegiatan ini diikuti oleh 13 orang pegiat literasi yang berasal dari berbagai kota dan kabupaten di Jawa Barat.
Apit Sulaeman Rosadi dari Komunitas Sabuk Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut bertugas sebagai pemantik diskusi malam itu. Dimoderatori oleh Anita Yulia dari Kabupaten Ciamis, diskusi malam itu menjadi begitu hangat dan seru. Kala itu, Apit memaparkan berbagai program kegiatan yang dia inisiasi dalam Komunitas Sabuk.
Keperihatinan Apit terhadap realitas di lingkungan sekitar, membuatnya merasa harus membuat suatu yang bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Melalui gerakan bersama cinta literasi, dia menamai program-programnya dengan nama yang unik. Dimulai dengan kegiatan Bubakbubuk (Buca Baca ku Buka Buku), Ngalingkung (Ngawangun Lingkungan), Ngopi (Ngobrol Pintar) dan Ngalembur (Ngamumule Lembur). Setiap program tersebut lahir dari kepekaan Apit dalam membaca kebutuhan lingkungan di sekitarnya. Dengan segenap hasrat pengabdiannya, dia menggandeng relawan dari berbagai kalangan untuk melaksanakan program-programnya.
Titik Balik
Apit, sang pegiat literasi dari Garut Selatan menempuh perjalanan yang tidak instan dalam menemukan jati dirinya sekarang. Apit terlahir sebagai anak ke delapan dari sembilan bersaudara. Keluarga Apit adalah keluarga sederhana yang tinggal di desa. Sejak kecil Apit adalah anak yang berprestasi di sekolah. Hanya saja, saat jenjang sekolah menengah pertama, prestasi Apit mulai menurun karena dia mulai mengalami masa-masa kenakalan remaja. Apit tidak meneruskan sekolah ke tingkat selanjutnya karena pilihannya sendiri.
“Ok, tidak apa-apa Apit tidak melanjutkan sekolah, untuk apa juga presiden sudah ada, menteri juga sudah ada,” timpalnya pada orang tuanya yang kala itu menawarinya untuk melanjutkan sekolah.
Apit remaja yang sedang meraba-raba kehidupan dan merasa paling bisa menaklukan dunia. Dia mulai berpetualang dengan jiwa bebasnya, menerjang batas-batas ketakutan, melampaui berbagai rintangan. Dengan dalih bekerja, Apit remaja berangkat mendekati ibu kota, Bekasi tepatnya. Di sana Apit disuguhkan pergaulan remaja kota. Balap liar, masuk geng motor dan tawuran menjadi bagian dari riwayat hidupnya.
Mulai tahun 2014, Apit mencoba berbagai peruntungan dengan mencoba bisnis batu akik. Dari sini pergaulan dan pemikiran Apit semakin berkembang. Apit merasa cukup senang dengan terbukanya pergaulan dan merasakan manfaat silaturahmi.
Tahun 2016, Apit mencoba bisnis lain dengan berjualan susu murni di Simpang Lima Kota Garut. Saat itu Apit mengalami titik balik kesadaran dalam kehidupan seorang Apit. Keperihatinan Apit pada pergaulan anak jalanan yang dia saksikan setiap hari membuat Apit berpikir situasi anak-anak dan pemuda di desanya. Dalam benaknya ada kekhawatiran terhadap perilaku pemuda di desanya. Apit memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya.
Merangkul generasi
Kekhawatiran Apit ternyata terbukti. Tidak jauh berbeda dengan kenyataan yang dia saksikan, pemuda di desanya juga dalam situasi yang sama meski dalam cara yang berbeda. Hal ini membuat Apit menjadi semakin yakin untuk mencurahkan segala upaya untuk bisa memperbaiki kenyataan yang ada.
Apit memulai upayanya dengan merangkul para pemuda untuk ikut dalam forum silaturahmi pemuda yang dia gagas. Melalui wadah itulah dia mulai menginisiasi berbagai kegiatan untuk bisa mewadahi para pemuda. Forum silaturahmi ini telah berhasil menjaring para pemuda yang telah lulus sekolah dan tidak merantau. Akan tetapi, Apit merasa forum ini belum bisa merangkul seluruh entitas masyarakat dari mulai anak-anak hingga orang tua.
Dari sanalah, Apit menginisiasi lahirnya Komunitas Sabuk yang bisa merangkul masyarakat dari berbagai kalangan usia terutama anak-anak. Latar belakangnya adalah Apit berpikir bahwa masa depan seseorang ditentukan sejak usia dini hingga masa remaja. Karena itulah Apit mulai menggagas lahirnya taman baca.
Sang berdikari
Apit menjelaskan bahwa dipilihnya nama “sabuk” adalah sebagai upaya untuk mengikat atau terjalinnya ikatan yang kuat untuk membawa perubahan yang lebih baik bagi masyarakat. Maksudnya adalah segala kegiatan yang dilaksanakan dengan maksud untuk memperbaiki kehidupan masyarakat bisa diterima dan dijalankan dengan ketulusan dan gotong royong.
Apit mulai menyulap rumahnya menjadi taman baca. Dia mulai mengumpulkan buku-buku, membeli rak dan menyediakan berbagai kebutuhan taman baca dengan upaya dan dananya sendiri. Sampai pada tanggal 19 November 2017 Apit mewacanakan untuk membuat taman baca.
Proses giat di taman baca ini bertahap sedikit demi sedikit dari mulai mengumpulkan bahan bacaan dan sosialisasi pada masyarakat dengan bahan bacaan yang ada. Akan tetapi, proses itu dirasa masih belum maksimal oleh Apit karena respon yang kurang baik dari masyarakat.
“Mang Apit, bukannya tidak mau baca, tapi kalau harus ke rumah Mang Apit mah malu,” seru Apit ketika menjelaskan jawaban anak-anak ketika sosialisasi taman baca. Hal ini kemudian membuat Apit mengembangkan kegiatan taman baca dengan membuka lapak baca di alun-alun Kecamatan Bungbulang.
Dalam keterbatasan finansial yang dialami olehnya, Apit membangun saung baca sendiri. Berbekal keterampilannya dia berupaya memanfaatkan sedikit lahan untuk membangun Saung Baca. Dari mulai menggali tanah, mencari dan memotong bambu, memasang ijuk dan semua pekerjaan pembangunan dia kerjakan sendiri. Dengan membangun saung, Apit berharap anak-anak tak lagi enggan untuk datang. Saung ini juga kelak akan menjadi tempat giat para pemuda dan masyarakat di desanya.
Seiring dengan berdirinya saung dan berjalannya kegiatan di taman baca, Apit mulai merangkul pemuda sekitar untuk ikut berkontribusi dalam mengembangkan taman baca. Hingga kini Apit dibantu oleh rekan-rekan pemuda di kampungnya.
Gayung bersambut
“Sewaktu Apit menggelar kegiatan Ngampar Buku di alun-alun kecamatan, seorang pegawai kecamatan berseragam pegawai pemerintah lewat tapi dia tidak menghiraukan kami padahal itu kan dibuat untuk memajukan pendidikan, disitulah Apit merasa sakit hati,” keluhnya bercerita.
Pengalaman tersebut membuat Apit dan rekan-rekannya termotivasi untuk bisa mengekspos kegiatannya tersebut agar mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Saat itu Apit tergerak untuk berjejaring dan menginformasikan kegiatannya melalui media. Seolah gayung bersambut, saat itu Apit berjejaring dengan media kapernews.com sampai kegiatan “Ngampar Buku” yang dilakukan oleh Apit dan rekan-rekan dipublikasikan.
Dampak dari publikasi tersebut, kegiatan dan Taman Baca Sabuk mendapat perhatian dari kalangan pemerintah yaitu Istri Bupati Kabupaten Garut dan Dinas Perpustakaan Kabupaten Garut. Pada bulan Agustus 2018, Apit dipanggil oleh Kepala Dinas Perpustakaan Kabupaten Garut serta diperkenalkan kepada orang-orang yang bergiat di dunia literasi.
Apit dapat dikatakan salah satu pegiat yang tidak kenal lelah, terus memuwudkan apa yang dicita-citakan olehnya terhadap kampung halaman. Apit yang tidak memiliki impian, namun lebih berguru pada pengalaman, lalu menjadikan pengalaman sebagai pegangan gerakan yang dilakukan olehnya.
Apit yang terus menerus berjalan di jalan (yang) benar yaitu jalan literasi, memberikan inspirasi pada gerenasi seangkatan di kampung tempat Apit selama ini mengabdi. Semoga apa yang kemudian telah dilakukan oleh Apit, mendapatkan imbalan yang setimpal, tidak hanya di dunia, tetapi di tempat lain, yang orang kenal itu “Surga”.
No Comment