“AKU” PADA ANTOLOGI PUISI MENCATAT DEMAM
Oleh: Heri Maja Kelana
Buku bagi saya seperti seorang teman, terus dibaca berusaha memahaminya dengan baik. Seperti seorang teman, kadang buku diterima apa adanya atau bahkan dihakiminya karena bertindak atau melakukan sesuatu.
Belakangan saya membaca buku antologi puisi Mencatat Demam karya Willy Fahmy Agiska. Buku ini telah saya terima satu bulan terakhir, namun saya simpan dulu karena mansih banyak buku-buku mesti saya baca. Padahal buku antologi puisi Mencatat Demam sangat tipis, hanya 36 halaman serta terdapat 22 puisi. Buku setebal ini biasanya saya baca sambil makan atau sebelum tidur, karena akan cepat sekali selesai, paling lama 10 menit. Namun nyatanya saya tidak bisa selesai membaca buku setebal 36 halaman ini dalam waktu 2 minggu. Kembali pada konteks buku sebagai teman, saya melihat sifat-sifat atau tingkah laku buku ini selama 2 minggu. Entah apa yang membuat saya lama sekali membaca buku puisi ini.
Mencatat Demam sebagai antologi puisi mendapatkan juara utama Hari Puisi 2019. Berarti puisi ini telah lolos kurasi juri dan dianggap paling bagus di antara antologi puisi lainnya. Dan saya sepakat dengan juri, antologi puisi ini layak untuk juara karena berbagai pertimbangan.
Aku yang terbuka
Aku lirik kadang menjelma sebagai aku penyair kadang juga tidak menjelma sama sekali. Tergantung peristiwa apa yang sedang dibangun oleh penyair. Willy, dengan ke-aku-annya yang begitu ketat, menjadikan aku lirik ini bukan aku penyair, melainkan aku peristiwa. Willy berhasil mengubah “aku” menjadi peristiwa yang luar biasa. Maksud saya, peristiwa-peristiwa yang terdapat pada puisi Willy dibangun oleh aku yang ciamik. “Aku” di sini tidak diposisikan menjadi aku personal. “Aku” menjadi sangat terbuka, sehingga pembaca dapat dengan leluasa merasakan peristiwa pada puisinya. Artinya puisi ini menjadi dekat dengan pembaca. Seperti puisi yang saya kutip utuh di bawah ini.
Si Gimbal
Pada rambutku
hari-hari kian berjejal
kusut dan gatal-gatal.
Waktu
mungkin telah menetaskan kutu-kutu
yang pelan-=pelan menggerutu
dari pikiranku.
Aku mau lepas kepalaku.
Pergi ke malam-malam
ke bulan, ke matamu.
Kemudian kulihat diriku
juga derita
berjalan bersama
saling menertawakan
sepuas-puasnya.
2013-2018
Pada puisi-puisi yang ditulis tahun 2018, Willy mencoba menghilangkan diksi “aku” untuk masuk total pada peristiwa yang tengah dibangunnya. Namun bagi saya, puisi-puisi yang ditulis pada pada tahun 2018 tidak begitu kuat seberti puisi-puisi yang ditulis tahun-tahun sebelumnya. Peristiwa lahir dari sedkripsi suasana, bukan lahir dari “aku” seperti yang ditulis pada puisi-puisi sebelumnya.
Lagi-lagi Willy mempunyai keunggulan. Meski puisi dibangun dari deskripsi suasana, namun ia memilih pristiwa yang universal. Sehingga pembaca kembali merasakan peristiwa yang tengah dibangunnya.
Antologi puisi Mencatat Demam, yang diterbitkan oleh Kentja Press (2018), layak dan sangat layak untuk dibaca. Boleh untuk dijadikan teman seperti yang saya tulis di atas, supaya lebih mengenal lebih jauh lagi. Puisi ini begitu kaya dengan peristiwa, meski titik masuknya hanya dari diksi “aku”.
Jika aku tak menulis puisi
sungguh mustahil tiba di larik-larik ini.
(Jika Aku Tak Menulis Puisi, Willy Fahmy Agiska)
Salam.
1 Comment
Rupanya ini resensi pertama buat buku Mencatat Demam. Nuhun pisan mang Heri Maja Kelana. Meski singkat tulisannya, gue seperti membaca lebih dari 36 lembar buku ituh hehe. Gracias!