ADAPTASI: KUNCI PERUBAHAN KEBUDAYAAN
Ada Paradoks yang bekerja di sini: semakin banyak dunia terhubung, semakin banyak bencana lokal dapat memicu ketakutan gelobal dan akhirnya menjadi bencana. Pada tahun 2010, awan debu dari letusan gunung berapi kecil di Islandia, menjadi gangguan kecil dalam mekanisme kompleks kehidupan di Bumi, menghentikan lalulintas udara di sebagian besar Eropa. Letusan itu adalah pengingat tajam bagaimana, terlepas dari semua aktivitasnya yang luar biasa dalam mengubah alam, umat manusia hanyalah salah satu di antar aberbagai spesies hidup di planet Bumi. Dampak sosial ekonomi yang sangat dasyat dari ledakan kecil tersebut adalah karena kerapuhan perkembangan teknologi kita, dalam hal ini perjalanan udara. Satu abad yang lalu, letusan seperti itu akan berlalu tanpa disadari. Perkembangan teknologi membuat kita lebih mandiri dari alam dan pada saat yang sama, pada tingkat yang berbeda, lebih bergantung pada kehendak alam.
(Panik! Covid-19 Mengguncang Dunia, Slavoj Zizek)
Sampai saat ini tidak ada yang tahu kapan virus Covid-19 akan berakhir? Juga tidak ada yang tahu apa tatanan baru yang akan dibangun setelah Covid-19, yang banyak orang sebut dengan New Normal (Adaptasi Kebiasaan Baru).
Memahami perubahan dunia pascapandemi tentunya sedang banyak dirumuskan oleh para ahli. Baik ahli psikologi, literasi, polititik, kesehatan, hingga ahli ekonomi. Tatanan baru yang diharapkan bukan hanya tatanan sementara, namun tatanan yang mengubah pola pikir lama menjadi pola pikir baru, pada hal ini terjadi pula dalam dunia literasi. Seperti yang diungkap oleh Prof. Djoko Saryono, pada Serambi Literasi, Festival Literasi Indonesia 2020 (28/8/20).
“Dengan mengutip fenomenologi, literasi itu saya bayangkan sebagai rumah imajinasi kita dalam literasi. tanpa literasi kita tidak akan bisa memiliki imajinasi kita dengan kongkret. Literasi itu membangun sebuah dunia kehidupan.”
Unsur hakiki dari literasi adalah bahasa, sedangkan bahasa adalah rumah imajinasi, rumah eksistensi, karena di luar bahasa, di luar literasi (literasi pada konteks bahasa), setiap individu itu sebenarnya tidak eksis.
Beberapa tahun ke belakang, kita berada pada kehidupan yang tidak terduga, selalu mendua dengan kompleksitas tinggi. Sekarang kita tidak sedang dilanda destrupsi oleh penyakit semata, setidaknya seperti yang kembali diucapkan oleh Prof. Djoko Saryono ada 5 destrupsi yang sedang berhadapan dengan kita. Destrupsi bencana alamiah dan manusiawi, destrupsi sains kealaman, destrupsi bioteknologi, distrupsi teknologi digital, serta distrupsi teknologi informasi dan komunikasi.
Kita sekarang berada pada pusaran informasi yang luar biasa, atau sering disebut dengan “Tsunami informasi”. Distrupsi Covid-19 sekarang sedang bertemu dengan destrupsi teknologi digital. Seperti pembelajaran daring, bekerja dari rumah dan lain sebagainya.
Sebetulnya kita bagian dari revolusi digital, akan tetapi masif, terstruktur, sistemik, pada saat pandemi sekarang. Pandemi mendorong percepatan revolusi digital. Namun persoalannya, bukan hanya pandemi semata, ada hal lain yang sedang dihadapi yaitu infodemi.
Infodemi setidak-tidaknya menyangkut pada tiga aspek, malinformasi, disinformasi, dan misinformasi. Ketiga aspek tersebut yang akan membahayakan masyarakat dalam menerima informasi. Pada satu bulan pertama, Kominfo mengumpulkan 250 halaman terkait infodemi. Hal ini membuat semua menjadi kebingungan dengan informasi yang benar. Kita (masyarakat) berada pada situasi yang tidak menentu, atau pada bahasa Prof. Djoko Saryono berada pada situasi “wajah ganda”.
Realitas sosial yang sekarang sedang terjadi, oleh para ahli disebut dengan “tikungan kebudayaan/kelokan kebudayaan”. Prof. Djoko Saryono kemudian melanjutkan, pada tikungan kebudayaan ini apabila diibaratkan dengan permainan mobil Formula1, sekarang sedang berada di tikungan. Apabila tidak dapat melewatinya, maka akan terpeleset melewati tikungan tersebut. Namun kita harus melewati tikungan tersebut dengan mulus, untuk keberlangsungan kebudayaan.
Pada konteks literasi, pandemi, kelokan kebudayaan yang menikung tajam pada wilayah kebudayaan, menuntut untuk menata ulang pola hidup/kebudayaan sekarang. Seperti contoh, orang tua yang tidak dapat mengajarkan anaknya dengan baik di rumah, atau tidak maksimalnya bekerja dari rumah, hal itu jangan menjadi masalah untuk disalahkan. Hal tersebut adalah benturan-benturan atau gegar budaya yang sedang dihadapi. Seharuanya pada situasi seperti ini, sinergi harus diperkuat, saling pengertian, sehingga dapat keluar dari krisis tersebut. Literasi harus memahamkan orang tua, sekolah dan guru, bukan sebuah oposisi yang harus dipertentangkan, namun harus dileburkan.
“Kunci dari perubahan adalah adaptasi. Dunia literasi, literasi, penggerak literasi harus mendorong adaptasi terhadap kebiasaan baru (new normal). Proses ini harus dilaksanakan secara cepat, tangkas, serta lentur yang dalam bahasa lain disebut meiliki agilitas.” Pungkas Prof. Djoko Saryono.
Adaptasi: Literasi Harus Terdepan
Ada anekdot dari timur tengah yang berkaitan dengan kondisi sekarang, berjudul Pertemuan di Samara.
Seorang pelayan yang bertugas di pasar yang begitu ramai di Baghdad bertemu Maut di sana; ketakutan karena tatapannya, dia berdiri pulang ke tuannya dan memintanya untuk memberinya kuda, sehingga ia bisa berjalan sepanjang hari hingga mencapai Samara, di mana Maut tidak akan menemukannya, di malam hari. Tuan yang baik tidak hanya menyediakan pelayan dengan kuda, tetapi pergi sendiri ke pasar, mencari Maut dan memarahinya karena makuti pelayannya yang setia. Maut menjawab: “Tapi aku tidak menakut-nakuti pelayanmu. Aku hanya terkejut melihatnya di pasar ini karena saya punya janji bertemu dengannya di Samara malam ini…
Secara garis besar pesan yang disampaikan dari anekdot tersebut, bahwa Maut tidak akan membawa seseorang apabila bukan takdirnya. Sehubungan dengan konteks Covid-19, bahwa betul dengan apa yang dikatakan pada anekdot tersebut, namun kewaspadaan serta tetap siaga dalam menghadapi ancaman dari Covid-19 juga tidak kalah penting.
Literasi diharapkan masuk lewat kanal-kanal Taman Bacaan Masyarakat yang notabene dekat dengan masyarakat. Atau dapat dikatakan bagian dari masyarakat, dalam mensosialiasinkan serta melaksanakan adaptasi kebiasaan baru. Dapat dimulai lewat praktik-praktik baik literasi pada masa adaptasi kebiasaan baru.
Prof. Djoko Saryono mengungkapkan bahwa, menjadi penting dalam upaya membangun unsur-unsur kebudayaan baru disosialisasikan sejak dini. Seperti pemahamaan literasi digital.
Masih tutur dari Prof. Djoko Saryono, dunia digital yang sekarang marak di mana-mana ini bukanlah pengganti dunia nyata, tetapi sebuah perluasan dunia. Dunia digital adalah dunia baru. Pemahaman seperti ini harus sampai pada masyarakat sejak dini. Supaya tidak ada benturan antara dunia nyata dan dunia digital. Literasi seharusnya memberikan prespektif seperti itu.
Jangan sekali-kali berpikir bahwa dunia digital itu sebagai lawan atau tempat mengungsi serta bermigrasi ketika pandemi Covid-19 terjadi. Dunia digital dapat dianggap kampung halaman baru. Dengan demikian, dapat tercipta keselarasan yang baru. Keselarasan (harmoni) baru ini yang dibutuhkan pada masa pandemi Covid-19. Kemudian Prof. Djoko Saryono kembali mengingatkan bahwa 6 literasi dasar itu itu sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, namun untuk saat ini literasi digital sangatlah penting.
Dengan beradaptasi, dengan berliterasi, pandemi Covid-19 akan terlewati dengan mulus. Seperti apa yang diilustrasikan oleh Prof. Djoko Saryono dengan tikungan Formula 1, terlewati dengan mulus. [HMK]
No Comment